Subscribe

Monday, February 9, 2009

Pahlawan Cilik

Bulan Juni 1859. Pagi itu matahari bersinar cerah. Saat itu perang Solverino baru saja berakhir. Sekutu Perancis, Italia, baru saja mengalahkan Austria. Sepasukan kecil kavaleri yang dipimpin seorang kapten berbaris memasuki jalan yang lengang. Hingga tibalah di sebuah lading. Seorang anak laki-laki berumur 12 tahunan sedang membuat sebuah tongkat dari dahan kecil. Melihat pasukan kecil itu datang, anak lelaki itu berdiri dan membuka topinya memberi hormat. Anak lelaki itu berwajah cerah dan tersenyum lebar.

“Halo nak, apa yang kau lakukan disini?” sapa kapten. “Bukankah seharusnya kau mengungsi dengan keluargamu? Dimana keluargamu?”
“Ayah saya ikut berperang, dan dia belum kembali,” jawabnya. ‘”Ibu dan adikku sudah mengungsi bersama paman Benito ke San Severino. Seandainya saya sudah lebih besar sedikit, saya pasti ikut berperang bersama ayah. Saya ingin jadi serdadu dan membela negara kita. Sayang kata ayah saya masih terlalu kecil. Maka saya tetap tinggal disini. Tugasku adalah menjaga rumah, dan kalau mungkin memberikan bantuan pada para serdadu. Oh, apakah saya boleh menyiapkan makanan? Ayah telah mengumpulkan jagung yang banyak. Saya bisa menyajikannya untuk para serdadu kita.”

Kapten tersenyum mendengar penuturan anak kecil itu. “Simpan saja jagungmu nak! Para serdadu dan kuda-kuda sudah kenyang. Kau dan keluargamu akan memerlukan jagung-jagung itu saat kalian berkumpul kembali,” kata kapten. “O ya nak. Apakah akhir-akhir ini kau melihat serdadu Austria lewat sini?”
“Tidak! Tidak ada serdadu dalam tiga hari ini!” katanya mantap.
“Itu tidak mungkin!” pikir kapten dalam hati. “Serdadu Austria hanya bisa melarikan diri lewat desa ini.”

Maka kapten turun dari kudanya dan meminta ijin untuk mengintai keadaan desa dari loteng rumah anak lelaki itu. Tapi ternyata loteng rumah itu terlalu pendek. Kapten hanya bisa melihat sebagian desa saja. Satu-satunya cara untuk bisa melihat seluruh desa adalah dengan meanjat pohon tinggi di depan rumah anak lelaki itu. Namun jika kapten atau salah satu serdadunya naik, musuh pasti bisa melihat keberadaan mereka, dan sudah tentu akan menembaknya.
Anak lelaki itu tahu apa yang dipikirkan kapten, maka dia berkata: “Saya bisa naik ke pohon itu untuk mengintai!”
“Apakah kau berani? Itu sangat berbahaya,” kata kapten.
“Saya pandai memanjat,” katanya “saya bisa sampai di puncak pohon dalam sekejap. Dan musuh pasti tidak akan menyadarinya. Lagipula mata saya tajam, jadi saya bisa memberi informasi dengan cepat.”
“Lalu apa yang bisa kuberikan sebagai hadiah atas keberanianmu?” tanya kapten.
“Saya tida meminta apapun,” jawabnya “saya senang bisa berbuat sesuatu untuk negara.”
Kapten terharu mendengar kata-katanya. Ditepuknya bahu anak lelaki itu. “Baiklah! Aku menyerahkan tugas ini padamu. Tapi berhati-hatilah!” kata kapten.
“Siap kapten!” katanya dengan gembira.

Dengan sigap anak lelaki itu mendekap batang pohon dan mulai memanjat dengan lincah. Sekejap kemudian anak lelaki itu sudah berada di puncak pohon. Kakinya tertutup daun-daun, namun tubuhnya menyembul di atas pucuk pohon dan tidak terlindung.
“Lihatlah ke depan nak!” teiak kapten. “Apa yang kau lihat?”
“Aku melihat ada dua penunggang kuda sedang menuju kesini,” teriaknya.
“Berapa jaraknya dari sini?” tanya kapten.
“Kira-kira setengah mil,” jawabnya.
“Baiklah. Sekarang lihatlah di sebelah kananmu nak! Apa yang kau lihat?” tanya kapten.
“Oh di dekat kuburan, aku melihat ada sesuatu yang mengkilat. Seperti sangkur senjata. Tapi saya tidak bisa melihat orangnya. Mungkin mereka bersembunyi di ladang gandum,” katanya.

Tiba-tiba terdengar desingan peluru di udara, kapten sadar bahwa musuh telah mengetahui bahwa mereka sedang diintai.
“Kau harus turun nak!” katanya cemas. “Mereka sudah melihatmu!”
“Aku tidak takut!” kata anak lelaki. “Apakah kapten ingin tahu apa yang kulihat di sebelah kiriku?”
“Apa?” tanya kapten.
Kembali terdengar desingan peluru. Kali ini hampir menyerempet tubuh si anak lelaki.
“Oh, mereka membidikku, tapi tidak kena,” teriak si anak lelaki.
“Demi Tuhan turunlah nak! Lupakan apa yang di sebelah kirimu. Turun saja!” teriak kapten.
“Ya saya akan turun,” jawabnya. “Tapi pak di sebelah kiri saya, di dekat gereja, di sana ada aaaaaaaahhh…..!”

Sebutir peluru lagi-lagi mendesing di udara. Kali ini tepat mengenai paru-paru anak lelaki itu. Dan dia pun jatuh tepat di hadapan kapten. Cepat-cepat kapten meraih tubuh kecil yang sudah bersimbah darah itu.
“Nak, maafkan saya!” kata kapten penuh penyesalan.
Anak itu tersenyum dan menggeleng. “Selamat tinggal ayah…ibu…sampai jumpa di surga!” bisiknya lemah. Lalu kepala itu terkulai. Anak lelaki itu menghembuskan nafasnya yang terakhir.

Kapten dan anak buahnya hanya bisa menatap haru. “Sungguh meski dia masih belia, tapi jiwa patriotnya luar biasa. Dia adalah pahlawan bangsa. Kita harus menguburkannya dengan layak!” kata kapten dengan penuh duka.

(SELESAI)

No comments:

Post a Comment